oleh: Jaya Wahono, Direktur Eksekutif Libyan Indonesian Business Council
Melihat kesuksesan revolusi rakyat Libya yang dimulai di Benghazi pada tanggal 17 Februari 2011 lalu, sudah selayaknya dunia internasional merasa optimis atas proses demokratisasi di Libya dan dunia Arab keseluruhan. Revolusi yang dimulai di Tunisia, berlanjut ke Mesir lalu menyebar di berbagai belahan dunia Arab mematahkan satu argumen yang banyak dianut oleh pengamat politik dan ekonomi tentang wilayah tersebut yaitu bahwa rakyat Arab kebanyakan lebih memilih stabilitas daripada kebebasan berpolitik dan mereka tidak menginginkan “sistem demokrasi barat” di negri mereka. Berpuluh-puluh tahun lamanya rakyat Arab hidup dalam suatu sistem sosial politik dimana kepemimpinan nasional tidak mempunyai interaksi langsung dengan publik kebanyakan dan semua sumber-sumber ekonomi penting berada di tangan “lingkaran dalam” penguasa. Hal ini tentunya pernah juga terjadi negri Indonesia yang akhirnya berujung pada peristiwa Mei 1998. Satu hal yang sangat membedakan kondisi Libya sekarang dengan Indonesia di tahun 1998 adalah Libya tidak mempunyai utang luar negri dan bahkan mempunyai cadangan devisa yang sangat besar relatif terhadap populasinya sehingga pembangunan infrastruktur bisa segera dikerjakan apabila kondisi keamanan dan politik di dalam negri mendukung untuk hal tersebut.
Sebelum Revolusi, kontraktor-kontraktor Indonesia sudah cukup aktif dalam menjajaki dan mengerjakan proyek-proyek infrastruktur baik di sektor Migas/Energi maupun infrastruktur Sipil yang jumlahnya mencapai lebih dari USD 2 milyar. Pertanyaannya kemudian adalah apakah pemerintahan pasca revolusi nanti masih akan menghormati kontrak-kontrak yang ditandatangani oleh pemerintah pra-revolusi dengan berbagai perusahaan Indonesia di masa lampau dan bagaimana proses klaim terhadap pembayaran yang tertunda dan aset-aset perusahaan-perusahaan Indonesia yang tertinggal di sana? Bagi perusahaan-perusahaan Indonesia yang sedang menggarap proyek di Libya, kekhawatiran yang lain adalah bagaimana caranya meyakinkan para pekerjanya untuk kembali bekerja di Libya disamping tentunya strategi para managernya untuk meyakinkan para pemegang saham dan penyandang dana untuk kembali melakukan aktifitas bisnis di negri Afrika Utara tersebut.
Keunggulan Komparatif Indonesia
Peluang bisnis bagi perusahaan-perusahaan nasional Indonesia yang ingin menjawab tantangan diatas akan sangat besar dan seharusnya bisa dilihat dari konteks keunggulan komparatif Indonesia dalam menyediakan sumber daya manusia yang lebih berkualitas dan berpengalaman untuk proyek-proyek infrastruktur Migas/Energi dan sipil. Seperti halnya di Timur Tengah, mayoritas pekerja di Afrika Utara terutama di Libya masih didominasi oleh pekerja asing baik manajerial maupun teknikal. Indonesia sebagai produsen migas lebih dari 100 tahun dan jumlah populasi terbesar ke-4 di dunia, tentunya mempunyai pengalaman yang lebih panjang dan jumlah pekerja konstruksinya juga jauh lebih banyak daripada negara-negara lainnya di kawasan tersebut. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa banyak pekerja kita baik di level professional maupun di level pekerja buruh yang bekerja di proyek-proyek infrastruktur dan migas di timur tengah. Hal itu tentunya disebabkan oleh motivasi mencari pendapatan yang lebih besar daripada di proyek-proyek dalam negri tetapi yang lebih penting lagi, persepsi bangsa Libya dan bangsa Arab secara umum terhadap bangsa Indonesia sangat positif karena kesamaan kultur, historis dan penduduknya yang mayoritas beragama Islam. Secara alamiah, bangsa Libya dan Arab lainnya akan memilih pekerja ahli di bidang manajerial dan teknikal dari Indonesia daripada China, India, Brazil, Rusia dan bahkan barat sekalipun. Pemerintah dan swasta Indonesia perlu melihat peluang di Libya dan Arab pasca revolusi ini sebagai topik strategis, tidak hanya untuk menggenjot ekspor produk dan jasa Indonesia tetapi juga untuk menunjukkan solidaritas sesama muslim dalam memajukan kesejahteraan umat secara umum. Selain itu, Indonesia sebagai negara berkembang tentunya masih mempunyai angkatan kerja di level “semi-skill” dengan jumlah sangat besar. Dengan populasi pekerja konstruksi yang besar tersebut seharusnya akan memberikan kemudahan logistik bagi kontraktor Nasional Indonesia dalam me”recruit“ dan memobilisasi pekerja konstruksi dalam waktu singkat dan biaya yang relatif jauh lebih rendah daripada kontraktor-kontraktor dari negara maju. Besarnya jumlah pekerja-pekerja Indonesia yang saat ini banyak bekerja dalam proyek-proyek di timur tengah mestinya bisa menjadi indikasi kuat bagi perusahaan nasional kita untuk tidak ragu-ragu lagi dalam melakukan penetrasi pasar proyek-proyek strategis di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Perusahaan Nasional sebagai Ujung Tombak Kerjasama Selatan-selatan
Libya dan Arab pasca revolusi juga akan memberikan peluang ekspor yang unik bagi Indonesia dalam hal memperkenalkan produk dan jasa berbasis Teknologi dari negri ini. Apabila kita melihat angka ekspor kita yang masih didominasi oleh produk komoditas seperti bahan tambang/mineral, CPO dan produk agro lainnya, tentunya peluang ini tidak boleh kita sia-siakan. Ekspor produk dan jasa berbasis Teknologi tidak hanya mempunyai nilai tambah tinggi yang akan diikuti oleh margin yang lebih tinggi pula, tetapi juga menjadi peluang untuk membangun kapasitas sumber daya manusia kita untuk bisa beralih dari ekspor berbasis perdagangan komoditi menjadi ekspor berbasis Teknologi.
Perlu diingat juga bahwa meskipun Libya hanya berpenduduk 6 juta orang, Libya berada di benua yang berpenduduk hampir 1 milyar orang. Teknologi yang dibutuhkan oleh Libya dan pasar Afrika bukan teknologi tinggi tetapi lebih kepada teknologi terapan yang lebih bertujuan untuk menaikkan efisiensi produksi industri mereka. Dengan mulai dikenalnya produk dan jasa berbasis Teknologi dari Indonesia di Libya, diharapkan pemerintah dan masyarakat Afrikapun akan mulai melirik ke Indonesia untuk menjawab tantangan kebutuhan mereka dalam memajukan penguasaan teknologi bagi negrinya.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia serta pemrakarsa Konferensi Asia Afrika pertama di Bandung tahun 1955 mempunyai tanggung jawab besar dalam membawa inspirasi bangsa-bangsa dunia ketiga di dalam percaturan ekonomi global. Untuk itu sudah selayaknya perusahaan-perusahaan Nasional mengambil peran lebih besar dalam pelaksanaan proyek-proyek strategis di dunia ketiga lainnya terutama di benua Afrika dan negara Arab yang masih berkembang. Apabila peran ini tidak diambil oleh perusahaan-perusahaan nasional kita, tentunya akan diambil oleh perusahaan-perusahaan China, India, dan Turki yang sudah pasti akan menggunakan argumentasi yang sama dengan Indonesia yaitu demi memajukan kerjasama selatan-selatan sekaligus memberikan nilai tambah yang lebih besar daripada kontraktor-kontraktor barat karena biaya mobilisasi pekerja yang lebih murah dan lebih cepat.
Gerbang Ekonomi Afrika dan Asia
Banyak pakar ekonomi menyatakan bahwa dunia pasca krisis ekonomi global akan memberikan peluang lebih besar kepada negara-negara di Asia untuk lebih memantapkan posisi mereka dalam perdagangan internasional. Hal ini tentunya didasari kenyataan di lapangan yang memperlihatkan bahwa China dan India melakukan ekspansi lebih agresif daripada Amerika dan negara barat lainnya. Pertumbuhan ekonomi di China dan India akan berada pada posisi yang jauh lebih tinggi daripada kekuatan ekonomi dunia lainnya untuk dekade mendatang. Untuk itu tentunya memberikan suatu kesempatan juga kepada Indonesia karena lokasi geografis negara kita yang berada pada jalur perdagangan kedua kekuatan ekonomi tersebut.
Indonesia dapat dan seharusnya bisa menjalankan peran sebagai Gerbang ekonomi di Asia tidak hanya karena letak geografis tersebut tetapi juga karena peran sejarah geopolitik kita di Asia dan Afrika. Bagi bangsa-bangsa di Afrika, Indonesia mempunyai tempat khusus karena Indonesialah yang pertama kali memberikan suara kepada negara-negara berkembang di Asia Afrika untuk bisa duduk sejajar dengan bangsa-bangsa bekas penjajahnya. Akan tetapi yang lebih penting dalam konteks era globalisasi saat ini, Indonesia mempunyai peran sebagai negara berkembang yang demokratis sehingga mempunyai sistem perekonomian dan perpolitikan yang lebih kuat fondasinya daripada negara berkembang lainnya di kawasan dunia Arab dan Afrika.
Sudah sewajarnya dengan keunggulan geografis dan geopolitis tersebut, pemerintah dan swasta Indonesia melakukan kontak-kontak yang lebih aktif dengan negara-negara yang juga berpotensi menjadi gerbang ekonomi di kawasannya seperti Libya dan negara-negara di Afrika Utara lainnya. Dengan terjalinnya kontak-kontak bisnis dengan gerbang ekonomi di kawasan lain di dunia, diharapkan Indonesia akan lebih memantapkan posisinya sebagai gerbang ekonomi di Asia Pasifik. Sebuah Utopia mungkin, tetapi inilah saatnya bangsa ini menjalankan politik luar negri “bebas aktif” demi kemajuan ekonominya.
Based on the article by George Friedman: Indonesia's Global Significance